Kamis, 30 Mei 2013

LP EMFISEMA



A.    Definisi
Menurut WHO, emfisema merupakan gangguan pengembangan paruyang ditandai dengan pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi jaringan. Sesuai dengan definisi tersebut,jika ditemukan kelainan berupa pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan maka keadaan ini sebenarnya tidak termasuk emfisema, melainkan hanya sebagai overinflation.
Menurut Brunner & Suddarth (2002), Emfisema didefinisikan sebagai distensi abnormal ruang udara di luar bronkiolus terminal dengan kerusakan dinding alveoli.
Sedangkan merurut Doengoes (2000), Emfisema merupakan bentuk paling berat dari Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM) yang dikarakteristikkan oleh inflamasi berulang yang melukai dan akhirnya merusak dinding alveolar sehingga menyebabkan banyak bula (ruang udara) kolaps bronkiolus pada ekspirasi (jebakan udara).

B.     Etiologi
Menurut Brunner & Suddarth (2002), merokok merupakan penyebab utama emfisema. Akan tetapi pada sedikit pasien (dalam presentasi kecil) terdapat predisposisi familiar terhadap emfisema yang yang berkaitan dengan abnormalitas protein plasma, defisiensi antitripsin-alpha 1 yang merupakan suatu enzim inhibitor. Tanpa enzim inhibitor ini, enzim tertentu akan menghancurkan jaringan paru. Individu yang secara ganetik sensitive terhadap faktor-faktor lingkungan (merokok, polusi udara, agen-agen infeksius, dan alergen) pada waktunya akan mengalami gejala-gejala obstruktif kronik.
1.      Merokok
Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungan yang erat antara merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV) (Norwak, 2004)
2.      Keturunan
Belum diketahui jelas apakah faktor keturunan berperan atau tidak pada emfisema kecuali pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Kerja enzim ini menetralkan enzim proteolitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah. Defisiensi alfa 1-antitripsin adalah suatu kelainan yang diturunkan secara autosom resesif. Orang yang sering menderita emfisema patu adalah penderita yang memiliki gen S atau Z. emfisema paru akan lebih cepat timbul bila penderita tersebut perokok.
3.      Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-gejalanya pun menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernapasan atas pada seorang penderita bronchitis kronis hamper selalu menyababkan infeksi paru bagian bawah, dan menyebabkan kerusakan paru bertambah. Eksaserbasi bronchitis kronis disangka paling sering diawali dengan infeksi virus, yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.
4.      Hipotesis Elastase – Antielastase
Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase agar tidak terjadi kerusakan jaringan. Prubahan antara keduanya akan menimbulkan kerusakan pada jaringan elastic paru. Struktur paru akan berubah dan timbullah emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pancreas, sel-sel PMN, dan makrofag alveolar (pulmonary alveolar macrophage – PAM). Rangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok dan infeksi menyebabkan elastase bertambah banyak. Aktivitas sistem antietastase, yaitu enzim alfa 1-protease-inhibitor terutama enzim alfa 1-antitripsin menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada lagi keseimbangan antara elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan elastic paru dan kemudian emfisema.
5.       Polusi
Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan emfisema. Insiden dan angka kematian emfisema bisa dikatakan selalu lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi, polusi udara seperti halnya asap tembakau, dapat menyebabkan gangguan pada silia menghambat fungsi makrofag alveolar. Sebagai faktor penyebab penyakit, polusi tidak begitu besar pengaruhnya tetapi bila ditambah merokok resiko akan lebih tinggi.
6.      Faktor Sosial Ekonomi
Emfisema lebih banyak didapat pada golongan sosial ekonomi rendah, mungkin kerena perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.
7.      Pengaruh usia

C.    Klasifikasi
Terdapat tiga tipe dari empisema yaitu sebagai berikut:
a.       Emfisema Centriolobular
Merupakan emfisema yang sering muncul, menyebabkan kerusakan bronkiolus, biasanya pada region paru atas. Inflamasi berkembang pada bronkiolus tetapi biasanya kantong alveolar tetap tersisa.
b.      Emfisema Panlobular (panacinar)
Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya termasuk pada paru bagian bawah. Bentuk ini sering disebut centriacinar emfisema,sangat sering timbul pada seorang perokok.
c.       Emfisema Paraseptal
Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang mengakibatkan isolasi dari blebs sepanjang perifer paru. Paraseptal emfisema dipercaya sebagai sebab dari pnemotorak spontan. Panacinar timbul pada orang tua dan k lien dengan defisiensi enzim alpha-antitripsin. Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan disnea dan infeksi pulmoner serta sering kali timbul ko pulmonal (CHF bagian kanan).

D.    Patofisiologi
Asap tembakau dan polusi udara
Gangguan pembersihan paru-paru
Saluran napas kecil kolaps saat ekspirasi
PLE (empisema panlobular)
Sekat dan jaringan penyongkong hilang
Seumur hidup
Predisposisi genetic (defesiensi alfa antitrypsin)
PLE asimptomatik pada orang tua
CLE dan PLE
Peradangan bronkus dan bronkiolus
CLE (emfisema centriolobular)
CLE bronchitis kronis
Saluran napas kecil koplaps sewaktu ekspirasi
Bronkiolitis kronis
Hipoventilasi alveolar
Obstruksi jalan napas akibat peradangan
Dinding bronkiolus melemah dan alveoli pecahiolus
Faktor-faktor yang diketahui
 






















E.     Gambaran Klinis
Gejala
F.     Pemeriksaan Penunjang
1.      Pemeriksan radiologis, pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Foto dada pada emfisema paru terdapat dua bentuk kelainan, yaitu:
a.       Gambaran defisiensi arter
Overinflasi, terlihat diafragma yang rendah dan datar,kadang-kadang terlihat konkaf. Oligoemia, penyempitan pembuluh darah pulmonal dan penambahan corakan kedistal.
b.      Corakan paru yang bertambah, sering terdapat pada kor pulmonal, emfisema sentrilobular dan blue bloaters. Overinflasi tidak begitu hebat.
2.      Pemeriksaan fungsi paru, pada emfisema paru kapasitas difusi menurun karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
3.      Analisis Gas DarahVentilasi, yang hampir adekuat masih sering dapat dipertahankan oleh pasien emvisema paru. Sehingga PaCO2 rendah atau normal.Saturasi hemoglobin pasien hampir mencukupi.
4.      Pemeriksaan EKG, Kelainan EKG yang paling dini adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat defiasi aksis ke kanan dan P-pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF.Voltase QRS rendah.Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan di V6 rasio R/S kurang dari 1.
a.       Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma; peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema); peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
b.      Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, misalnya bronkodilator.
c.       TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma; penurunan emfisema.
d.      Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema.
e.        Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma.
f.       FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronkitis dan asma.
g.      GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis. Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kollaps bronkial pada ekspirasi kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronchitis.
h.      JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
i.        Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer.
j.        Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen; pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi.
k.      EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia atrial (bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis vertikal QRS (emfisema).
l.        EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan/evaluasi program latihan.

A.    Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan emfisema paru terbagi atas:
1.      Penyuluhan, Menerangkan pada para pasien hal-hal yang dapat memperberat penyakit, hal-hal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan dengan baik.
2.      Pencegahan
a.       Rokok, merokok harus dihentikan meskipun sukar.Penyuluhan dan usaha yang optimal harus dilakukan
b.      Menghindari lingkungan polusi, sebaiknya dilakukan penyuluhan secara berkala pada pekerja pabrik, terutama pada pabrik-pabrik yang mengeluarkan zat-zat polutan yang berbahaya terhadap saluran nafas.
c.       Vaksin, dianjurkan vaksinasi untuk mencegah eksaserbasi, terutama terhadap influenza dan infeksi pneumokokus.
3.      Terapi Farmakologi, tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi jalan nafas yang masih mempunyai komponen reversible meskipun sedikit. Hal ini dapat dilakukan dengan:
a.       Pemberian Bronkodilator,
Golongan teofilin, biasanya diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg BB per oral dengan memperhatikan kadar teofilin dalam darah. Konsentrasi dalam darah yang baik antara 10-15mg/L.
Golongan agonis B2, biasanya diberikan secara aerosol/nebuliser. Efek samping utama adalah tremor,tetapi menghilang dengan pemberian agak lama.
b.      Pemberian Kortikosteroid, pada beberapa pasien, pemberian kortikosteroid akan berhasil mengurangi obstruksi saluran nafas. Hinshaw dan Murry menganjurkan untuk mencoba pemberian kortikosteroid selama 3-4 minggu. Kalau tidak ada respon baru dihentikan.
c.       Mengurangi sekresi mukus
Minum cukup, supaya tidak dehidrasi dan mukus lebih encer sehingga urine tetap kuning pucat. Ekspektoran, yang sering digunakan ialah gliseril guaiakolat, kalium yodida, dan amonium klorida. Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air menurunkan viskositas dan mengencerkan sputum. Mukolitik dapat digunakan asetilsistein atau bromheksin.
4.      Fisioterapi dan Rehabilitasi, tujuan fisioterapi dan rehabilitasi adalah meningkatkan kapasitas fungsional dan kualitas hidup dan memenuhi kebutuhan pasien dari segi social, emosional dan vokasional. Program fisioterapi yang dilaksanakan berguna untuk :
a.       Mengeluarkan mukus dari saluran nafas.
b.      Memperbaiki efisiensi ventilasi.
c.       Memperbaiki dan meningkatkan kekuatan fisis
5.      Pemberian O2 dalam jangka panjang, akan memperbaiki emfisema disertai kenaikan toleransi latihan. Biasanya diberikan pada pasien hipoksia yang timbul pada waktu tidur atau waktu latihan. Menurut Make, pemberian O2 selama 19 jam/hari akan mempunyai hasil lebih baik dari pada pemberian 12 jam/hari.

B.     Komplikasi
1.      Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan
2.      Daya tahan tubuh kurang sempurna
3.      Tingkat kerusakan paru semakin parah
4.      Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas
5.      Pneumonia
6.      Atelaktasis
7.      Pneumothoraks
8.      Meningkatkan resiko gagal nafas pada pasien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar